Aku adalah seorang janda memiliki dua orang anak, anak pertamaku perempuan berumur 3 tahun dan anak keduaku laki-laki, berumur 3 bulan. Aku tinggal di rumah bangsalan kecil yang sangat sederhana , yang berukuran 3x5 m2 hanya di buat 3 sekat pembatas antara ruang tamu yang lebar 1,5 meret, ruang tidur 2,5 meter dan sisanya lagi ruang belakang 1 meter yang di bagi menjadi dua, untuk wc yang juga tempat mandi dan tempat mencuci. Karena tidak memiliki ruang yang cukup untuk dapur, kompor minyak tanah yang aku gunakan untuk memasak, ku letakkan di dekat dinding pembatas ruang belakang dengan ruang tempat tidur, peralatan memasak seadanya,sebuah wajan, panci di dinding tempat mencuci piring. Megic com yang ku letakkan di sebelah kompor, yang hanya berjarak 50 cm dari kasur tempat tidurku dan anak-anak. Sejak suamiku pergi dengan wanita penggoda itu, aku mencoba bertahan dengan menjadi seorang waitress di tempat perjudian, saat itu aku sedang hamil 6 bulan, karena sedang hamil aku harus menunggu hingga setelah melahirkan untuk menggugat cerai suamiku, kini sudah 6 bulan aku resmi menjanda dan menjadi single parent bagi ke dua anak-anakku.
**
Suatu hari aku di kagetkan dengan ke datangan Dewi kaka angkatku yang telah lama hilang kontak sejak dia menikah tiga tahun silam. Ka Dewi datang dengan membawa dua koper besar di kedua tangannya.
"Kaka....!" aku memeluk Dewi dengan penuh suka cita, Dewi hanya tersenyum kaku.
"Ayo masuk ka"
"Iya, mana suamimu?" Tanya Dewi sambil mengikutiku masuk ke dalam rumah. "Mati!"
"Serius! Yang benar km!?"
"hehehe, nanti ku ceritakan, kaka sendiri kenapa jadi minggat begini?"
"Gilang selingkuh dengan pembantu di rumah mamanya, dia kabur bersamanya dengan membawa Joan" Jawab Dewi, menangis dalam pelukkanku.
Saat itu, tak tahan akupun menangis, sunggu kami bernasib sama, hanya saja ka Dewi lebih sakit karena telah terpisah dari Joan anak semata wayangnya. Akupun berusaha membesarkan hatinya dan memintanya untuk tinggal bersamaku sesuka dan selama yang dia mau, dengan kondisi yang seadanya. Awalnya aku sedikit minder, takut ka Dewi akan tidak betah tinggal di gubuk kami, karena selama tiga tahun dia tinggal di rumah yang layak bersama suaminya, namun dia sama sekali tidak berubah, dia tetap kaka angkatku yang dulu sewaktu kami masih tinggal di kost sederhana yang hanya berukuran 2x3, kami sudah terbiasa dengan kesulitan keuangan karena sama-sama merantau dan jauh dari orang tua. Suatu malam akupun menceritakan kisahku pada Dewi ketika anak-anak sudah pada tidur di ruang tamu yang juga menjadi tempat tidurnya yang hanya beralaskan karpet dan sebuah bantal.
"Ngapain ka?" Tanyaku dengan suara pelan sambil membawa bantal meletakkannya di sebelah bantal Dewi yang terlihat sedang memegang handponenya.
"Lagi smsan sama Riska" Jawabnya melirik ke arahku sesaat dan kembali mengetik sms di hpnya.
"Siapa tu?" Tanyaku sambil membaringkan badanku.
"Teman dekat, sekampung, aku cerita klo aku sudah bercerai, dia kaget"
"Owh.."
"Kamu sendiri kenapa bercerai dangan suamimu?" Tanyanya penasaran.
"Laki-laki enggak tau diri ka, dia selingkuh, bahkan dia meninggalkanku saat aku hamil besar, padahal dia pengangguran berat, selama ini aku yang menghidupi dia dan anak-anak, tapi dia malah selingkuh dengan lonte itu!!!"
"Sabar aja, biar bagaimanapun dia bapak dari anak-anakmu"
"Bapak macam apa itu? Aku enggak sudi anak-anakku bertemu dengannya lagi!! Aku melarangnya menemui anak-anakku" Tambahku kesal.
"Dimana dia sekarang?"
"Tinggal dengan lonte itu di rumah kontrakkan juga, dia tu enggak lebih dari laki-laki enggak punya harga diri! pemalas! dia hanya memanfaatkan wanita untuk di jadikan sapi peras!"
"Biar aja, yang penting sekarang urus anak-anak dan pikirkan masa depan aja, enggak ada gunanya mencaci orang yang enggak punya hati seperti itu, tapi kalau dia mau ketemu anaknya jangan di larang, kasian anak-anakmu, seburuk apapun mantan suamimu, dia adalah bapak mereka"
"Dia juga enggak peduli dengan Shalsa dan Dika, kalau memang dia peduli, dia enggak mungkin pergi dengan wanita jalang itu tanpa belas kasihan, dia bahkan tidak mengakui Dika itu adalah anaknya ka" Jawabku menahan tangis.
"Ya ampun.."
"Sabar.., sabar..." Katanya berulang-ulang sambil mengelus-elus bunggungku dengan tangan kanannya.
"Iya, dia yang selingkuh tapi dia menuduh aku selingkuh, kaka tau kan, pekerjaan di tempat judi banyak om-om dan koko-koko, dia pikir aku seperti lonte itu bekerja sambil jualan "pepesan"!" biar kerja di tempat judi, aku masih bisa jaga diri ka, lagian uang gaji dan uang tip yang ku dapat udah lebih dari cukup untuk bayar kontrakkan rumah, belanja dapur, beli perabotan dan keperluan lainnya" Aku menangis sejadi-jadinya sambil menahan suara tangisku agar tidak membangunkan anak-anakku yang sedang tidur. Ka Dewi memelukku erat yang membuatku semakin menangis.
"Iya ka" Aku menghapus air mataku dengan ujung bajuku dengan kedua tanganku.
"Maaf kalau aku bikin kamu sedih, udah ya, kita enggak usah cerita tentang masa lalu lagi, mending cerita masalah pekerjaan aja" Ka Dewi menguatkan aku.
"Kaka mau kerja di tempatku? Kan kaka juga pernah kerja jadi kasir disana, ko Aming pasti akan langsung menerima kaka" Balasku sambil duduk.
"Aku enggak mau kerja di tempat judi lagi, aku mau kuliah sore dan bekerja siang aja, klo tempat judi harus shif dan enggak bisa sambil kuliah"
"Owh..., bagus itu, kaka punya ijazah SMA jadi bisa kuliah, kerjaan selain tempat judi aku enggak tau ka"
"Aku udah minta tolong Riska untuk mencarikan aku pekerjaan"
"Andai aku lulus sekolah, aku juga mau kuliah ka, dan kerja di kantoran biar enggak kerja di tempat judi lagi"
"Syukuri aja, enak kerja di tempat judi koq, uang gajinya melebihi kerja orang kantoran lo, cuman resikonya itu, harus kerja malam, apalagi anak-anakmu masih kecil-kecil"
"Iya, itulah yang aku pikirkan ka, kalau dulu ada Bapaknya yang jaga, sekarang harus di tinggal dengan pengasuh, untung pengasuh mereka orang dekat sini aja dan udah kenal baik jadi aku agak tenang kerjanya"
"Hari ini enggak kerjakah?" Tanyanya baru menyadari aku tidak masuk kerja.
"Hehe, hari ini kebetulan lagi off kaka" Jawabku sedikit terseyum.
"Owh..kira'in bolos" Jawabnya lagi sambil tertawa kecil.
"Emang sekolah!!? Bolos, kaka ni ngawur, udah ya ka, besok lagi, ku ngantuk" Jawabku mengakhiri pembicaraan sambil bangkit dari duduk.
"Iya.., selamat tidur..., Oya, tolong lampunya dimatikan aja, aku enggak bisa tidur kalau terang" Pintanya sambil membaringkan badannya dan memejamkan mata.
"Iya ka" Jawabku, mematikan lampu dan menuju kasur dimana anak-anak sedang tertidur pulas.
**
Sudah enam bulan Ka Dewi tinggal bersama kami, diapun sudah menjalani studinya di salah satu kampus swasta. Setiap malam pula Ka Dewi keluar malam memenuhi ajakkan teman-teman laki-lakinya yang baru dia kenal, aku juga tidak begitu mengenal teman-teman laki-lakinya, mungkin karena parasnya yang cantik banyak pria yang berusaha mendekatinya, tapi tidak satupun di antara mereka yang bisa menjadikannya kekasih, Ka Dewi sering pulang dalam keadaan mabuk berat, bahkan pernah di antar dalam keadaan tidak sadarkan diri, untunglah teman laki-lakinya itu berbaik hati mengantarkannya hingga sampai kerumah. Ka Dewi tidak pernah menolak pemberian dari siapapun yang menawarkan uang belanja kepadanya bahkan dia sangat pandai membuat teman laki-lakinya mengeluarkan uang jutaan untuknya. Kamipun pindah ke rumah kontrakkan yang cukup besar meski masih satu kamar. Ka Dewi membeli sebuah tv dan perabotan dapur kami semampunya, dia juga membelikan aku handphone yang baru. Aku sangat tergantung pada Ka Dewi, sebulan yang lalu, tempat perjudian tempat aku bekerja di tutup setelah terjaring rajia. Akupun sermi menjadi pengangguran. Sejak itu pula aku mulai ikut ka Dewi keluar malam, anak-anakku aku titipkan bersama pengasuh yang juga tetangga dekat rumah kontrakan kami. Ka Dewi memperkenalkan aku ke teman-teman laki-lakinya. Aku pun berkenalan dengan seorang pria paruh baya bernama Beni yang belakangan aku ketahui adalah seorang TNI yang telah memiliki istri dan dua orang anak. Awalnya aku selalu menghindarinya, namun hal itu tidak lagi aku lakukan setelah aku banyak mendapat bantuan keuangan dari nya terutama ketika anakku yang ke dua, dika sakit demam berdarah dan harus di rawat di rumah sakit, saat itu aku tidak ingin menambah beban ka Dewi karena saat itu dia harus membayar uang semesternya. Akupun menerima bantuan dari Beni. Sikapnya yang selalu memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih sayang, membuat aku jatuh dalam pelukannya. Kamipun menjalani hubungan gelap, aku menutupinya dari ka Dewi karena aku tidak ingin dia tau kalau aku menjalin hubungan gelap dengan laki-laki yang sudah beristri. Aku tau ka Dewi tidak akan mencampuri urusan pribadiku, seperti aku yang tidak ingin mencampuri urusan pribadinya yang sempat aku dengar dekat dengan beberapa laki-laki yang beristri juga, hanya saja ka Dewi tidak pernah membuka pembicaraan tentang hal itu, mungkin dia tidak ingin aku mengetahuinya karena menjaga imagenya sebagai kaka angkatku. Akupun menutup mata dan telingaku, selama ka Dewi baik-baik saja pikirku. Tentu dia lebih pandai menjaga dirinya dan siap atas segala resiko yang telah dia ambil. Tapi tidak dengan aku, aku mulai jatuh cinta dengan Beni, aku mulai ingin memilikinya seutuhnya. Benipun mencintaiku dengan sepenuh hati, dia ingin aku menjadi istrinya dan menjadi ibu dari anak-anaknya. Beni menceritakan istrinya tidak pernah memperlakukanya seperti aku memperlakukkannya, selayaknya seorang istri mengurus rumah, memasak, mengurus anak-anak dan suami. Beni membangga-banggakan aku yang bertahan di tengah kehimpitan ekonomi.
**
Disuatu sore sedang memasak untuk makan malam, ka Dewi sedang kuliah, anak-anakku bersama pengasuh, tiba-tiba aku di kagetkan dengan suara gedoran pintu rumah dan teriakan dari balik pintu "Hei...Lonte...!! Keluar kamu!!" aku membuka pintu dan mendapati seorang wanita paruh baya yang langsung menjambakku, aku berusaha melepaskan diri cengkramannya, tak lama Beni datang menariknya secara paksa. Para tentanggapun berkeluaran menonton dari depan rumah mereka masih-masing sambil berbisik-bisik. Aku hanya menundukkan kepalaku dan menangis.
"Sudah pak aku sudah muak dengan semua ini, kalau bapak tidak melupakan lonte itu, Ceraikan aku" Teriak wanita itu.
"Sudah bu, jangan bikin malu disini, kita bicarakan dirumah" Bujuk Beni sambil berusaha menuntun istrinya melangkah keluar gang.
"Apa!!! Malu? Bapak yang tidak tau malu, menyimpan lonte itu" Serunya lagi sambil mengarahkan tunjukan padaku dgn tatapan kebencian.
"Praaakkk!!!!" Suara tamparan itu membuatku mengangkat kepalaku, Beni menampar istrinya yang membuatnya terdiam dan menangis dan berlari keluar gang, Beni menyusulnya setelah menoleh menatapku sesaat. Akupun masuk kedalam rumah menghindari tatapan tetanggaku. Ku tutup pintu dan menguncinya, aku langsung masuk ke kamar dan menangis sejadi-jadinya. Sambil menangis aku teringat akan peristiwa setahun yang lalu saat aku mendapati mantan suamiku bersama wanita yang aku sebut lonte itu, saat itu aku menamparnya, menjambaknya dan mencaci makinya saat aku mendapati dia dan suamiku sedang bersenggama di ranjang pengantin kami, apa sebenarnya yang terjadi padaku, mungkin ini balasan atas dosaku pikirku, seharusnya aku tidak melekukan hal itu, mungkin ini karma pikirku, apa bedanya aku dan dia sekarang? terbesit sesal di hatiku yang membuatku semakin terluka. Teringat Beni yang menampar istrinya di depanku dan para tentangga, tentu dia sangat sakit dan terluka, aku memutuskan untuk mengalah dan meninggalkan Beni. Aku harus mengakhiri semua ini gumamku lagi sambil mengusap air mataku, bangkit dan menuju dapur, melanjutkan memasak makan malam, sebentar lagi ka Dewi pulang kuliah, aku berniat ingin menceritakan semuanyan padanya. Setelah selesai memasak, mandi, aku menjemput anak-anakku di rumah pengasuh di rumahnya dua gang dari rumah kontrakkan kami, untunglah saat itu hari sudah gelap tidak banyak tetangga yang berada di luar rumah. Setelah memberi mereka makan, aku menyuruh shalsa untuk tidur dan menidurkan Dika.
**
Jam 21.30 malam. Ka Dewi pulang dari kuliah.
"Masak apa de'? Kaka lapar banget nih, tadi enggak sempat beli mihun di kampus, asyik ngobrol dengan bagiannya" Tanya ka Dewi sambil melintasiku menggantung tasnya di paku dinding dekat tv lalu duduk di depan tv.
"Masak sayur patin ka, makan sudah" Jawabku sambil melintasinya setelah menutup pintu, menuju dapur, ka Dewi mengikutiku.
"Kenapa de'?" Tanya ka Dewi heran sambil mengambil piring di rak piring dan duduk di lantai mengadapi hidangan sayur patin dan sambel yang aku hidangkan dengan tidak menatap wajahnya.
"Enggak papa ka, kaka makan aja dulu, nanti ade mau ngomong" Jawabku kembali ke depan tv.
"Kamu enggak makan?" Tanyanya lagi.
"Udah makan tadi ka" Jawabku berbohong, lalu duduk di depan tv, dengan tatapan kosong.
Selang beberapa menit ka Dewi keluar dari dapur dan duduk di dekat ku di depan tv. Dia seakan tau aku menyembunyikan sesuatu, namun dia tidak terlihat ingin melontarkan pertanyaan lagi. Aku mengumpulkan segala keberanian untuk menceritakan semuanya.
"Tapi kaka jangan marah ya?"
"Iya kaka janji enggak akan marah" Jawabnya dengan tidak mengalihkan pandangannya dari tv.
"Tadi istri Beni ke sini ka, dia menjambakku dan mencaciku, untunglah Beni datang dan melepaskan cengkramannya, tetangga semua pada keluar ngeliatin, aku malu ka"
"Kamu enggak papa kah?" Dia menatap wajahku dengan wajah yang cemas.
"Enggak papa ka cuman rambutku rasa mau rontok semua, aku memutuskan untuk mengakhiri ini ka" Tambahku lagi dengan nada sedih.
"Kaka enggak tau harus ngomong apa, ini semua sudah kita bicarakan sebelum kamu memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Beni, ini adalah kemungkinan terburuk yang harus kamu hadapi"
"Aku mencintai Beni ka, dengan ketulusanku, tapi selama ini aku salah karena telah merusak kebahagianya dengan keluarganya"
"Dia sangat baik padaku, dia juga bilang kalau dia mencintaiku, tapi dia tidak mungkin meninggalkan istri dan anak-anaknya demi aku dan menghancurkan masa depannya" Jawabku sambil menahan sesak di dadaku.
"Kaka dukung apapun keputusanmu, kaka sebenarnya ingin melarangmu tapi kaka takut kamu kecewa dan terluka karena kamu sudah main hati, asal kamu tau de' kaka sebenarnya mengenal teman laki-laki kaka itu banyak yang sudah beristri, tapi kaka tidak pernah main hati, bagi kaka kami hanya saling membutuhkan dan tidak saling menggangu, tapi jadikan ini pelajaran berharga"
"Iya ka.." air mataku keluar.
"Sudahlah jangan nangis, entar malam kita having fun, lupakan semua masalah" Ka Dewi memelukku, membuat aku semakin menangis.
**
Tiga bulan sudah setelah peristiwa yang memalukan itu, aku tidak lagi menghubungi Beni aku mengganti nomor hpku, aku tau Beni tidak akan mencariku karena dua hari setelah kejadian itu, dia hanya mengirimkan sms, mengatakan kalau dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami demi istri dan anak-anaknya, dan mengatakan dia tidak akan melupakanku selamanya, aku membalas smsnya dengan meminta maaf dan berterima kasih atas kebaikkannya selama ini, aku berjanji tidak akan mencarinya dan melupakan apa yang telah terjadi di antara kami. Dia mengirimkan sejumlah uang melalui rekening bank ka Dewi untukku dan anak-anak. Itu terakhir kalinya aku komunikasi dengannya. Ka Dewi di terima bekerja sebagai kasir di sebuah billiard, hal itu membuatnya jarang keluar malam karena kelelahan bekerja dan kuliah, sesekali saja dia menerima ajakan teman-temannya di waktu weekend. Sejak itu ka Dewi sudah mulai mengatur keuangannya karena gajinya sebagai kasir tidak dapat memenuhi segala kebutuhannya sendiri dan kuliahnya. Aku memahami kesulitan ka Dewi, aku memutuskan untuk pulang ke kampung halamanku untuk menitipkan Shalsa dan Dika, agar aku bisa bekerja. Ka Dewi dengan berat hati melepaskan keberangkatanku, dia mengantarkan kami hingga ke terminal bis dengan menyewa sepeda motor. Masih teringat lambaian tangan ka Dewi di balik kaca bis yang semakin menjauh dan hilang dari pandanganku. Selamat tinggal ka Dewi, semoga kau sukses dan mendapatkan kebahagiaanmu gumamku dalam hati.
___The End___
*Untuk seorang sahabat, terimakasih telah banyak membantuku, miss u, wish u get all your happiness*
Writer : Rusni Hasyimi
January 2013.
