Tuesday, December 18, 2012

Mahkota Dua

"Sela, wanita cantik dan sexy ini bersuka cita menyambut hari pernikahannya yang akan di selenggarakan pada hari Jum'at pagi. Namun pada kenyataannya tak seperti harapannya, keluarganya yang awalnya mendukung pernikahannya dengan Dido, berbalik menentangnya dan membatalkan hari pernikahannya yang sudah di sepakati kedua belah pihak itu, Selapun memutuskan untuk pergi dari rumah menemui Dido melintasi Jembatan Mahkota Dua" Sela berjalan menjauhi Dido, duduk di atas turap beton yang di atasnya dipagari besi bulat berbentuk horizontal yang kokoh membatasi sepanjang tepi sungai kota Tenggarong, diangkatnya kedua kakinya di atas turap beton dengan berselonjor, kedua lengannya berlipat menumpu di atas besi bulat turap dan menopang wajahnya. Dido menghampirinya. "Beb, setelah menikah kita tinggal dimana? Di sini atau di Samarinda?" Tanya Sela. "Kita tinggal disini beb, biar beb enggak jauh dari orang tua dan kita bisa setiap sore nongkrong disini" Jawab Dido kekasihnya. "Aku sudah tidak sabar menunggu hari Jum'at nanti, rasanya waktu berjalan sangat lamban" Sela memandangi jauh ke arah Jembatan Mahkota Dua yang membentang kokoh di atas Sungai Mahakam. designnya menyerupai Jembatan Golden Gate di Francisco, membuat jembatan itu terlihat indah. Mahkota dua juga merupakan kebanggaan warga Kota Tenggarong. Setiap sore hari banyak orang menghabiskan waktu bersama keluarga,teman dan pasangan kekasih menikmati suasana sore di alun-alun yang mereka sebut JB itu. "Sabar beb, tinggal beberapa hari lagi kita akan menikah dan hidup bahagia, memiliki banyak anak hingga ajal memisahkan" Jawab Dido sambil mengalungkan kedua tangannya ke pinggang Sela dari belakang sambil berdiri di letakkannya wajahnya di pundak Sela yang masih memandangi Mahkota Dua dengan pandangan kosong. "Beb, berjanjilah tidak akan meninggalkanku, apapun yang terjadi" Pinta Sela sambil memalingkan wajahnya menatap Dido dengan penuh harapan. "Aku janji beb, apapun yang terjadi aku akan tetap disini, bersamamu, menghabiskan sore di JB denganmu" Janji Dido. "Aku senang mendengarnya" Jawab Sela sambil tersenyum. "Beb, hari sudah mulai gelap, sebaiknya kita pulang" Dido membantu Sela turun dari duduknya. "Besok sore aku tunggu disini seperti biasa" Dido sambil menaiki motornya dan pulang ke Samarinda. Sela terus memandanginya sejauh matanya menangkap sosok kekasihnya itu melintasi Mahkota Dua dari kejauhan. Setibanya dirumah dilihatnya Mamanya sedang berbicara dengan seorang wanita paruh baya di ruang tamu. "Sela, sini Mama kenalkan dengan Ibu Ida, sahabat Mama dari Surabaya" "Sela" Jawabnya singkat, sambil meyambut tangan Ibu Ida dan duduk di samping Mamanya. "Ida, Mama banyak cerita tentang Sela, kata Mama Sela setiap sore menemui Dido di JB y ?" Tanya Ibu Ida sambil tersenyum tipis. "Ah,Mama koq cerita sampai kesitu sih?" Jawab Sela tersipu malu" "Ibu Ida baru datang dari Surabaya, Ibu baru pertama kali kesini, boleh donk Ibu di ajak jalan-jalan ke JB sekalian di kenalin sama calon Suaminya" Minta ibu Ida sambil melirik ke arah Mama Sela sesaat. "Boleh bu, besok ya, Sela mau kekamar dulu, mau mandi, dan menulis nama-nama yang akan di undang di pernikahanku nanti" Sela meninggalkan Mamanya dan Ibu Ida menuju kamarnya. Esok harinya Sorotan sinar matahari menembus tirai jendela Sela yang seharian menghabiskan waktu di kamarnya. Mengisi nama-nama di undangan yang sudah di cetak, undangan berwarna pink itu bercoverkan photo pra weddingnya dengan Dido yang di ambil 2 bulan yang lalu di JB, di cover itu Sela mengenakan pakaian pengantin putih dan Dido mengenakan Jas hitam mereka berdiri di JB yang di belakangnya membentang Mahkota Dua membuat photo tersebuat semakin mengagumkan. Sela tersenyum, teringat akan pertemuan pertamanya dengan Dido 4 tahun silam. Dido duduk di JB bersama teman-temannya sedang beristirahat sepulang kerja. Saat itu perusahaan tempat Dido bekerja menugaskannya pindah di kantor cabarng Tenggarong, dan sejak saat itulah Dido harus pulang pergi Samarinda-Tenggarong setiap hari, saat pulang kantor, Dido selalu menyempatkan beristirahat di JB bersama teman-teman kantornya dan hari itu salah seorang teman Dido menyapa seorang teman wanita yang lagi duduk bersama teman-teman wanitanya dan memperkenalkannya pada Dido dan juga teman-temannya yang lain, Sela masih ingat saat itu teman-temanya banyak yang berusaha mendekati Dido dan saling mencari perhatian Dido, namun Dido jatuh hati pada Sela dan mengatakan cintanya setelah saling kenal selama tiga bulan. Merekapun menjalin kasih selama hampir empat tahun, waktu yang cukup lama untuk saling mengenal satu sama lain, Dido sempat mengajak Sela menikah 2 tahun setelah mereka berhubungan, namun orang tua Sela memintanya menunggu Sela menyelesaikan kuliahnya yang tinggal 2 tahun lagi, karena itulah mereka memutuskan untuk bertunangan dulu selama dua tahun. 'Sungguh tak terasa waktu bersamamu, kini tinggal menghitung hari, hari pernikahan kita" gumam Sela dalam hati sambil tersenyum memandangi potretnya dengan kekasih hatinya di cover undangan pernikahan mereka. "Sela..." Suara mamanya dari balik pintu kamarnya, membuyarkan lamunan Sela. "Iya Ma" Jawab Sela lalu membuka pintu kamarnya, mamanya bersama Ibu Ida yang Sela tau adalah sahabat mamanya dari Surabaya. "Sela, itu Ibu Ida sudah menunggu" Kata Mamanya lagi sambil mengarahkan pandangannya ke Ibu Ida yang sudah duduk di sofa ruang tamu sambil tersenyum ke arah mereka. "Owh iya, Sebentar ma, saya siap-siap dulu" Jawab Sela sambil berbalik menuju lemari bajunya, dan mengambil baju kaos oblong berwarna putih polos, dan rok terbuat dari bahan kaos panjang berwarna coklat. Mamanya menutup pintu kamar sela dari luar dan menemui Ibu Ida. "Tolong bu, saya sangat membutuhkan pertolongan Ibu" "Ayo bu kita berangkat" Obrolan Mamanya dan Ibu Ida terpotong dengan kehadiran Sela yang sudah berdiri di dekat sofa membawa sebuah tas jalan yang di selempangkannya di pundaknya. "Wah Sela terlihat lebih feminin mengenakan rok" Puji Ibu Ida sambil berdiri. Sela hanya tersenyum dan melangkahkan kaki keluar rumah di iringi Ibu Ida dan Mamanya. "Sela hati-hati ya" Seru Mamanya sambil menyaksikan Sela dan Ibu Ida yang sudah berada di atas motor matic milik Sela. "Iya Ma" Jawab Sela sambil memacu motornya yang diberinya nama Popo itu. Ibu Ida merangkul pinggang Sela begitu kencang, Sela dapat merasakan kekawatiran wanita itu dari pinggangnya yang terasa sedikit sakit. "Sela pelan-pelan aja ya, Ibu udah lama enggak naik motor" Kata Ibu Ida sambil mengencangkan rangkulannya di pinggang Sela. "hehe iya Bu, tenang aja, Sela enggak ngebut koq" Sela tersenyum. Beberapa saat merekapun tiba di JB. Setelah memarkirkan motornya, "Kita sudah sampai?" Tanya Ibu Ida sambil turun dari motor Sela, melepaskan helm dari kepalanya. "Iya bu" Sela mengambil helm yang di pegang Ibu Ida membantunya meletakkan helmx di Jock motornya. Ibu Ida mengamati sekitar JB. Banyak orang berkerumunan melihat-lihat bahkan mengambil photo di JB, mengambil potret Jembatan Mahkota Dua. "Bu..." Tegur Sela yang mendapati Ibu Ida yang terlihat bengong dengan apa yang di lihatnya. "Kenapa bu? Baguskan? Ibu pasti terkesima dengan indahnya Jembatan Mahkota Dua kan?" Ibu Ida tetap bengong mengamati kerumunan orang-orang dari kejauhan. Sebagian orang-orang menatap kearahnya dan Sela, penuh tanda tanya. Penjual Kopi keliling, penjual bakso dan penjual roti bakar yang sedang berbicara dengan pengunjung. Ibu Ida dapat melihat gerakkan bibir mereka dari kejauhan sambil melirik kearahnya dan Sela. "Ayo bu, ikut saya kita menemui Dido, Dido sudah menunggu" Sela melihat Dido dari kejauhan sedang duduk di tempat biasa mereka bertemu, Sela melihat Dido sedang tersenyum, mengenakan baju hitam dan jaket yang sama dari hari-hari sebelumnya. Sela pernah menanyakan kenapa Dido kenapa selalu memakai baju yang sama, Dido hanya menjawab kalau dia sangat menyukai baju itu dan mencucinya setiap pulang kerja dan mengeringkannya di malam hari. Ibu Ida mengikuti Sela berjalan dari belakang, Sela sama sekali tidak memperdulikan orang-orang di sekelilingnya yang terlihat mencuri-curi pandang memperhatikan gerak-geriknya. Ibu Ida sesekali tersenyum dengan orang-orang yang berpapasan dengan mereka, ada yang membalas senyumnya ada juga yang hanya terdiam seribu bahasa, ada juga yang menatap heran. Sambil berjalan Ibu Ida terus mengamati di sekitar JB dilihatnya penjaja kopi soft drink keliling sedang melayani segerombolan pria yang duduk-duduk di tepi di atas pagar beton pembatas sungai, penjual roti bakar dan pisang gapit, serta bakso juga sudah terlihat ramai di kunjungi. Di JB selain fasilitas kursi-kursi yang terbuat dari beton di sepanjang tepi JB, juga fasitilitas olah raga seperti lapangan bulutangkis, tempat latihan panjat tebing, alun-alun yang tertata rapi, taman-taman, terdapat juga monumen yang menambah dayatarik tempat tersebut, banyak orang datang selalu berphoto-photo dengan mengambil background view Jembatan Mahkota Dua. Sela terus melangkah menghampiri Dido yang duduk menghadap sungai pandangannya ke arah Mahkota Dua. "Beb, kenalin ini Ibu Ida, sahabatnya Mama dari Surabaya, dia datang khusus untuk menghadiri pernikahan kita" Ibu Ida tersenyum dengan mengarahkan pandangan yang sama dengan Sela. Sela duduk di samping Dido, Ibu Ida duduk di samping Sela. Mendengarkan Sela yang mengajak Dido mengobrol dan menceritakan kegiatannya seharian ini. ** Dua hari kemudian. Sudah dua hari, setiap menjelang sore Ibu Ida ikut Sela ke JB menemui Dido kekasihnya. Hari ini Sela seperti biasa mengurung diri di kamarnya Sela tidak ingin bertemu dengan mamanya, setelah mendengar mamanya memintanya untuk membatalkan pernikahanya dengan Dido yang juga disarankan Ibu Ida sahabatnya. Sela sangat terpukul dia menangis sepanjang hari, dia sangat kecewa pada mamanya yang mengikuti saran seorang sahabat yang baru saja datang, kenapa mama lebih mendengarkan kata-kata Ibu Ida, Ibu Ida tak lebih dari ular berkepala dua, dia hanya berpura-pura baik terhadapku dan Dido, pantas saja dia hanya diam saat Dido berbasa-basi menanyakan tentang dia, guman Sela sambil menangis. hari ini dia sudah tidak sabar menunggu sore menceritakan pada Dido masalah yang dia hadapi, Sela berniat akan pergi dari rumah dengan membawa baju seadanya yang sudah dia kemasi dalam beg kecil miliknya. Di luar mamanya menghubungi Ibu Ida dan memberi tahukan tentang Sela yang tidak mau keluar kamar, tidak mau makan seharian ini. "Bu, apa yang harus saya lakukan bu, Sela tidak mau keluar dari kamarnya, dia hanya menangis seharian, dia jug tidak mau membuka pintu kamarnya, bahkan dia belum makan seharian in" Curahan hati mama Sela pada Ibu Ida di telpon sore itu. "Baik bu, saya akan kerumah untuk membujuknya" "Iya bu, tolong saya" Tiba-tiba mama Sela di kagetkan dengan suara pintu kamar yang terbuka, matanya ke arah suara pintu itu yang juga mendapati Sela menutupnya kembali dari luar, dengan membawa sebuah beg kecil dan berjalan melintasinya menuju pintu keluar rumah. "Sela..., Sela.., Sela mau kemana nak?" Mamanya masih memegang gagang telpon di kuping kirinya yang masih ada Ibu Ida menunggunya berbicara. Sela terus melangkah keluar pintu rumah. "Sela..., Sela..!" Mamanya sedikit berteriak. "Ada apa bu?" Suara Ibu Ida di balik gagang telpon panik mendengar teriakkan mama Sela. "Maafin Sela ma, Sela sebaiknya pergi dari sini, Sela sangat menyanyangi mama tapi Sela juga sayang Dido ma, Sela akan pergi ikut Dido kemana saja, asal kami tetap bersama selamanya" Sela membuka pintu rumah dan bergegas mengendarai motornya. Mamanya mengejarnya, melepaskan gagang telpon meninggalkan tanpa menutupnya. "Sela..., Sela....!!" Mamanya memanggilnya dari teras rumah tak terasa dia menangis dan kembali kedalam rumah, mengambil gagang telpon. "Bu, Sela bu..! Sela bu...! Sela keluar rumah membawa beg, dia bilang akan pergi bersama Dido untuk selamanya, saya harus menyusulnya bu" "Iya bu, saya akan menyusul kesana juga" Mama Sela bergegas menyusul Sela dengan menggunakan mobil menjemput Ibu Ida di penginapan tempat dia menginap lalu menyusul Sela. Di tempat yang berlainan Sela sudah tiba di JB menemui Dido kekasihnya, dia menceritakan singkat tentang apa yang terjadi, dia meminta Dido untuk membawanya pergi bersamanya, agar tidak ada yang dapat memisahkan mereka. Didopun mengabulkannya dengan membawa Sela mengendari motornya melintasi Jembatan Mahkota Dua. ** 30 menit kemudian. Mama Sela tiba di JB bersama Ibu Ida, dari parkiran di lihatnya dari balik kaca mobilnya kerumunan orang berada di tepi sungai beberapa di antara mereka menunjuk ke arah sungai. Merekapun bergegas ke arah kerumunan itu setelah melihat kesana sini tidak mendapati Sela. "Ada apa pak?" Tanya Ibu Ida heran, di lihatnya beberapa orang sedang menyelam. "Tadi bu, anak ini melihat wanita gila itu melompat dari atas potongan reruntuhan Mahkota Dua" Jawab seorang laki-laki penjual kopi keliling yang juga ingin memastikan kebenarannya, sambil menunjuk ke seorang anak yang melihat kejadian tersebut. "Wanita gila itu sering kesini bu, saya kenal betul dengan dia, dulu dia selalu bersama kekasihnya, tapi sejak Jembatan Mahkota Dua runtuh setahun yang lalu, dia kesini setiap sore tapi sendirian, kadang suka bicara sendiri, bilang orang-orang dia gila bu, sejak tunangannya ikut menjadi korban runtuhnya Jembatan Mahkota Dua. Mama Sela langsung pingsan dan tidak sadarkan diri. Beberapa jam kemudian, penyelam menemukan mayat Sela.   ___The End____    Writer : Rusni Hasyimi Dec 2012

Pisau Dapur

Dinda seakan kerasukkan setan menghujamkan beberapa tusukan pisau dapur ke dada wanita itu. Beni hanya meraung-raung meminta tolong sambil menggendong wanita malang itu setelah membaluti tubuhnya dengan selimut. Beni lalu membopong wanita itu menuju rumah sakit terdekat. Beni adalah suami Dinda, laki-laki berperawakan atletis ini adalah suami Dinda, selama menikah mereka memiliki tiga orang anak laki-laki, anak pertamanya berumur 9 tahun, anak keduanya berumur 6 tahun dan yang paling bungsu berumur 4 tahun. Di rumah Beni sangat dihormati dan di segani oleh anak-anaknya dan istrinya, Dinda sangat patuh padanya. Beni bekerja sebagai salah seorang manager di perusahaan besar, kehidupanyapun berkecukupan. Selama menikah kehidupannya semakin meningkat, membeli sebuah rumah di perumahan elit dan 2 buah memiliki mobil mewah. Beni jugu meberi modal Istrinya untuk membuka sebuah usaha catering yang cukup di kenal di kota itu. Setiap tahun mereka berlibur keluarga ke luar kota bahkan keluar negeri. Namun satu tahun belakangan ini Beni tidak pernah lagi meluangkan waktunya untuk istri dan anak-anaknya. Dia selalu beralasan sibuk dan cape saat di minta untuk berlibur bahkan untuk berkumpul keluarga di malam hari saja tidak pernah lagi. Beni sering pulang larut malam bahkan Istrinya sering mendapatinya pulang dalam keadaan mabuk berat. Melihat perubah suaminya, Dinda tidak ingin gegabah dia hanya terus bersabar dan berdo'a agar suaminya di bukakan hati untuk bertaubat dan kembali pada Istri dan anak-anaknya yang sudah dia lupakan. ** Malam minggu Jam 2.00 dini hari, seperti malam-malam sebelumnya Dinda duduk di ruang tamu menunggu suaminya pulang. Dinda sangat menghawatirkan suaminya meski dia tau suaminya telah berbuat hal yang menyakitkan hatinya dan anak-anak, Dinda tetap berusaha jadi istri yang sabar demi kelangsungan rumah tangga mereka yang sudah hapir 12 tahun. Untuk menghindari dari ke galauannya Dinda menyibukkan diri dengan menonton tv, membaca buku, sesekali berdiri melihat di balik tirai jendela. Dinda semakin cemas, diapun mencoba menghubungi ke nomor handphone suaminya namun lagi-lagi nomor handphonenya tidak aktif. Dinda lalu melanjutkan membaca buku hingga tertidur. Pagi harinya... Dinda di bangunkan Adi, anaknya yang paling tua. "Mah.., Mah..." seru Adi sambil menepuk pundak ibunya yang terbaring di soffa sambil memegang sebuah buku. "Iya..Pah, Papah udah pulang??" Jawab Dinda kaget dan menyadari ternyata yang membangunkannya bukanlah suaminya, melaikan anaknya Adi yang sudah siap dengan alat pancingnya. Dinda baru menyadari hari sudah siang dan menjanjikan pada anak-anaknya untuk pergi berlibur ke pemancingan. "Ini Adi Mah, Mamah koq tidur di sofa? Papah mana Mah? Belum bangun ya? Kan kita mau mancing Mah, ayo Mah..buruan" "Iya sayang, sabarnya Mamah bangunkan Papahmu dulu" Jawab Dinda menutupi keberadaan suaminya yang ternyata tidak pulang. "Oya, Dido dan Rendi sudah bangun?" Tanya Dinda sembil berdiri meletakkan buku di rak buku. "Belum Mah" Jawab Adi sambil duduk dan membenahi pancingnya. Dinda langsung menuju kamarnya, dadanya begitu sesak menahan tangis, apa yang harus dia katakan pada anak-anak, dia tidak mungkin mengatakan Papah mereka tidak pulang semalam. Dinda berusaha mengumpulkan sekuat tenaga untuk tetap tegar dan menganggap tidak terjadi apa-apa, setelah mandi dan berkemas, Dinda membantu Dido dan Rendi berkemas dan meminta mereka menunggu di ruang keluarga. Setelah menyiapkan segala keperluan berlibur, membawa bekal seadanya. "Ayo anak-anak, kita berangkat sekarang" Dinda memanggil anak-anaknya yang sedang menunggunya sambil bermain. Setelah mengunci pintu dan meletakkan kuncinya di bawa keset seperti biasanya. Dalam perjalanan... "Papah mana Mah? Enggak ikut lagi ya?" Tanya Adi sambil mengikuti Ibunya berjalan keluar dan di iringi adik-adiknya. Anak-anaknya seakan sudah terbiasa setahun terakhir ini berlibur tanpa Papah mereka. "Papah tidak ikut, dia kelelahan bekerja sayang, Papah juga bilang, siang ini ada meeting dengan relasi kantor" Jawab Dinda berbohong menutupi keadaan sebenarnya tentang suaminya yang merupakan Papah kebanggaan anak-anaknya. Dinda tidak ingin anak-anaknya mengetahui bahwa Papah kebanggaan mereka sudah tidak seperti dulu lagi. Sambil mengemudikan mobil Dinda hanya diam, kecemasannya terus saja menari-nari di otaknya, kemana Beni suaminya, handphonenya tidak aktif, semoga dia baik-baik saja pikirnya.Sesekali di lihatnya anak-anaknya yang bercanda gurau tertawa lepas. Haripun berlalu begitu cepat, mereka pulang dengan membawa hasil pancing yang cukup lumayan untuk dimakan malam ini. Setibanya dirumah, anak-anak berlarian melihat Papah mereka di ruang tv menonton acara sepak bola favoritenya. "Papah...!!" Teriak anak-anak yang hampir bersamaan. "Hallo anak-anak.." Sahut Beni sambil mengecilkan acara tv. Dinda langsung menuju dapur sambil membawa box ikan hasil pancingan. Dinda hanya mendengarkan celoteh anak-anak yang menceritakan serunya mereka memancing, dari dapur sayu terdengar obrolan anak-anak dengan Papah mereka. "Papah.., Koq enggak pernah liburan bareng kita lagi?" Tanya Adi. "Papah sibuk nak, nanti kita liburan ke yogya liburan tahun depan" Jawabnya. "Beneran Pah? Janji?" Tanya Dido "Iya papah janji" jawab Beni sambil mengangkat Rendi yang berusaha duduk di pangkuannya. "Pah, Rendi mau beli mobil-mobilan" "Mobilan Rendi sudah banyak menumpuk di lemari, mau beli lagi?" "Iya, Rendi mau beli lagi yang lebih banyak Pah" "Iya nanti Papah belikan, tapi Rendi janji jangan nakal ya?" "Iya Pah" Jawab Rendi sambil turun dari pangkuan Papahnya dan memainkan mobilannya di lantai. "Adi, Dido, buruan mandi setelah itu belajar" "Iya Pah" Jawab Adi dan Dido sambil meninggalkan Papahnya bersama Rendi. "Rendi, Mandi dulu ya, nanti main mobilan sama Papah setelah mandi" "Iya Pah" Malam harinya.. Setelah makan malam anak-anak tidur lebih cepat dari biasanya karena kelelehan seharian. Dinda duduk di meja riasnya mengenakan baju tidur tipis berwarna hitam yang transparan, Lekuk tubuhnya dapat terlihat jelas di balik baju tidur itu, tubuhnya yang masih terlihat sexy meski telah memiliki tiga orang anak. Dinda sangat memperhatikan penampilannya, selain untuk menyenangkan suami dia juga suka berolah raga dengan mengikuti erobic setiap sore hari setelah menjemput anak-anak sekolah. Akan tetapi Beni, seakan menganggap Dinda istrinya seperti pakaian usang yang tidak ingin dia pakai, karena hampir setahun terakhir ini Dinda dan Beni tidak pernah berhubungan suami istri, bukan karena Dinda tidak ingin melayani suaminya akan tetapi Beni yang begitu dingin kepadanya, jangankan melakukannya, pulang saja sering larut malam dan langsung tertidur kelelahan. Bahkan kadang tidak pulang hingga keesokan harinya. Malam itu seperti biasanya Dinda sengaja memancing gairah suaminya dengan memakai pakaian yang menantang dengan harapan agar dia tidak "dianggurin" tapi usaha itu seakan tidak di perdulikan Beni, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang kerjanya, tak jarang Dinda mengetuk pintu ruangannya di pagi hari untuk membangunkannya agar segera ke kantor. Dinda selalu berusaha menahan diri saat dia berkeinginan mengetok pintu kerja Beni di malam hari, walau hanya ingin menanyakan apakah dia ingin di buatkan kopi. Dinda sangat menghormati suaminya, dia tidak ingin hal itu terulang lagi dimana Beni pernah ingin menceraikannya lima tahun silam, saat dia selalu menanyakan tentang aktivitas suaminya itu, sejak saat itu Dinda bertekat untuk percaya pada Beni dan tidak akan membuatnya merasa terbelenggu dengan pertanyaan-pertanyaan bodohnya lagi pikirnya. Sejak itulah Dinda lebih banyak diam dan bersabar demi kelangsungan rumah tangga mereka. Setelah menggunakan cream malam dan handbody di sekujur tubuhnya dinda di kagetkan dengan suara sms dari handphone Beni yang tidak biasanya dia tinggal di kamar saat berada di ruang kerja. Dinda mengambil handphone itu bermaksud ingin menyererahkannya pada suaminya, setidaknya dia punya alasan memberitahukan ada sms pikirnya. Saat ingin mengantarkan handphone itu, Tiba-tiba saja Dinda penasaran ingin membukanya, jam segini siapa yang sms ya, masak teman kantor, boss juga masak malam-malam begini, pertanyaan-pertanyaan itu mulai mengelilingi otaknya setelah melihat jam di dinding kamarnya. Dinda semakin penasaran setelah bunyi sms kedua, dia memberanikan diri untuk membukanya, dia tidak ingin memikirkan resikonya lagi atau komitmennya dengan dirinya untuk tidak mencampuri pripasi suaminya lagi, rasa penasaran yang begitu kuat membuatnya menepis semua itu. Inbook "Sayang aku enggak bisa bobo, sayang ngapain? Jangan bilang lagi di pijitin sama babu dirumah yaa? :) Call me!!" "Sayang koq enggak di balas? Sayang besok malam bobo di rumah lagi enggak?" Tiba-tiba kaki Dinda lemas dan dadanya terasa sesak, tidak tahan akhirnya dia menangis, hatinya sangat terluka membaca sms itu yang dia yakini adalah selingkuhan Beni suaminya. Sudah berapa lama dia menyimpan wanita jalang itu, gumamnya sambil menangis terisak sambil duduk dilantai di tepi ranjang. Dinda terus saja mengis hingga larut malam, dia tidak bisa memejamkan matanya, di letakannya handphone Beni di atas meja riasnya. Tiba-tiba dia teringat besok harus mengantarkan anak-anak sekolah, aku tidak boleh begini, aku harus memikirkan apa yang harus ku lakukan, bukan hanya menangis, Dinda bangun dari duduknya dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan menarik selimut tebal berwarna hijau lalu memiringkan badannya lagi, matanya belum juga terpejam, ingin rasanya dia berteriak dan menumpahkan rasa sakit hatinya dengan meminta Beni menceraikannya saja atau pergi dari rumah atau dia menggugat cerai suaminya, kalau perlu menceritakan permasalahan ini ke keluarganya atau keluarga Beni, tapi dia menepisnya lagi, ini aib keluarga aku tidak boleh membawa keluarga dalam menyelesaikan masalah kami pikirnya. Berpikir sambil sesekali mengeluarkan airmata sampai matanya sangat lelah dan akhirnya dinda tertidur. Esok harinya... Dinda tetap bagun pagi dan membangunkan anak-anak, membuat sarapan dan mengantarkan mereka sekolah, hari ini Dinda tidak membangunkan Beni yang tidur di ruang kerjanya. Dinda tidak tau apa yang harus dia katakan dan apa yang harus dia lakukan setelah membaca sms yang membuat dunianya seakan hancur dalam satu malam itu. Setelah mengantarkan anak-anak sekolah Dinda pulang kerumah, Dinda membersihkan rumah sambil terus berpikir batinnya sangat terpukul sekilas tak tampak kesedihan di wajahnya meski hatinya saat ini hancur berkeping-keping. Setelah membereskan ruangan Dinda memasak untuk makan siang, hampir setiap hari Dinda melakukan rutinisat sebagai IRT yang tidak kenal lelah apalagi mengeluh. Sambil memasak dia teringat isi sms wanita itu yang menanyakan apakan Beni tidur di rumahnya apa tidak malam ini, suaminya pasti tidak akan pulang lagi malam ini pikirnya, dan pasti alasannya macet kemalaman dan kecapean lalu tidur di apartmentnya. Sambil memotong-motong kangkung Dinda merencanakan akan membuntuti Beni, tapi bagaimana dengan anak-anak pikirnya. Selesai memasak Dinda terus berpikir lalu dia teringat Ibu Irag, dia harus meminta bantuan Bu Irah, tetangga sebelah rumah yang kadang dia mintai tolong untuk menjaga Rendi sewaktu bayi. Dinda menelpon Bu Irah. "Hallo" "Bu Irah, malam ini saat mau keluar sama suami, menghadiri acara teman kantornya, Ibu bisa tolong jaga anak-anak?" Dinda beralasan seakan tidak ingin menceritakan permasalahan sebenarnya. "Iya bu, bisa, kebetulan saya lagi sendiri dirumah, bapaknya juga dinas malam" Jawab Ibu Irah yang kebetulan sendiri karena suaminya yang berpropesi sebagai satpam di sebuah hotel. "Baik bu, nanti saya sms kalau kami sudah akan keluar setelah saya tidurkan anak-anak, agar tidak melihat kami keluar, karena pasti Rendi akan rewel mau ikut" "Iya bu" "Makasih bu Irah" "Iya, sama-sama bu" Dinda menutup telpon. Tanpa berpikir panjang lagi, Dinda harus meneruskan rencananya ini. Dinda lalu masuk ke ruang kerja Beni berharap dia akan menemukan alamat wanita itu di bukanya dari satu laci ke laci lainnya yang berserakan kertas kerja suaminya, setelah di obrak abriknya semua isi ruangan itu Dinda menemukan buku harian,berwarna pink, dibukanya cover buku harian kecil itu dan halaman pertama bertuliskan identitas si pemilik buku. Dinda lalu mencatat alamat tersebut, tanpa memperdulikan isi dari buku harian itu yang hanya membuat lukanya seakan disirami garam. Dinda mengembalikan buku harian itu ke tempatnya semula dan merapikan ruang itu agar tidak di ketahui oleh suaminya. Malam hari pukul 10.00 Dinda keluar rumah dengan mengendarai mobil menuju alamat yang sudah di catatnya bahkan alamat tersebut sudah jelas dalam otaknya. Setelah cukup lama mencari alamat, bertanya dari orang-orang yang di temuinya di jalan, tibalah Dinda pada sebuah rumah yang cukup besar tersebut, Dinda memarkirkan mobilnya jauh dari rumah tersebut, Rumah itu terlihat lengang seperti tidak ada orang, bahkan tidak ada mobil suaminya atau mobil Widya di garasi luar rumah, apa salah alamat pikirnya, atau mungkin itu hanya sms nyasar yang hanya mengelabuinya pikinya lagi, tapi dia tidak mungkin salah, bukankah buku harian itu sudah cukup memperkuat bahwa Beni telah menjalin hubungan gelap dengan Widya selama 1 tahun dan sudah membelikannya rumah dan sebuah mobil kilahnya dalam hati. Dinda lalu teringat suaminya sering pulang mabuk, Dinda yakin kalau Beni dan selingkuhanya pergi ke club malam, mabuk-mabukan berdua, pikirnya. Dinda memutuskan untuk menunggu di mobil, waktu terus berjalan terasa lambat, tidak ada tanda-tanda orang yang datang ke rumah itu. Pukul 2.00 dini hari Dinda dikejutkan dengan mobil yang akhirnya datang dan parkir di depan rumah tersebut, yang tak lain adalah mobil suaminya. Dilihatnya Beni keluar lalu di ikutin seorang wanita berambut panjang dan memiliki tubuh yang sexy mereka terlihat sempoyongan dan bergandengan masuk kerumah entah apa yang mereka bicarakan, Dinda hanya dapat memperhatikan gerak gerik mereka dari balik kaca mobilnya, Dilihatnya wanita itu hendak tersungkur dan di bantu Beni berdiri bahkan mengendongnya masuk rumah. Beberapa saat setelah mereka masuk Dinda mengumpulkan keberanian untuk mengetok rumah tersebut, setelah keluar dari mobil dan bejalan menuju arah rumah tersebut yang pintu pagarnya tidak terkunci, bahkan pintu rumah tersebut tidak terkunci saat Dinda mencoba membukanya. Dinda memberanikan diri masuk, dia tidak menemukan suaminya dan wanita itu di ruang tamu, sayu Dinda mendengar di balik sebuah pintu kamar, suara-suara desahan seorang wanita, di dorongnya pintu kamar tersebut dengan jarinya perlahan dan dapat dilihatnya Suaminya Beni tengah bersenggama dengan wanita itu yang tengah asyik menggagahinya bak bagai kuda benita yang tengah berpacu kencang. Beni terlihat menikmati pacuan itu dengan tidak membuka matanya sama sekali. Mereka tidak menyadari kedatangan Dinda; Setelah berada dekat ranjang dan saat mereka menyadari ada pergerakan dari belakang, wanita itu menghentikan pacuannya dan menoleh mendapati Dinda yang langsung menghujamkan pisau dapur ke dadanya.   _____THE END_______ Writer : Rusni Hasyimi Email : rusni.hasyimi@gmail.com Newbie:)

Youtube's Channel

HARUSKAH KU JANDA TUJUH KALI?

Tinggal di sebuah kampung yang sangat terpencil dan jauh dari kota. Aku tinggal bersama ibu dan ayahku, kami hidup serba kekurangan kare...